Mungkin hal ini kelihatannya sepele. Tapi, coba simak baik-baik. Ternyata, di Sumatera Utara, selama Januari-Juni 2009 terjadi 1.396 kecelakaan lalu lintas, 745 orang di antaranya meninggal dunia. Dari jumlah itu 80 persen merupakan pelajar SMP dan SMA.Ini memang data tahun 2009, tapi bisa saja tahun 2010 ini meningkat (mudah-mudahan turun).

Sepintas, kita bisa mengambil kesimpulan, ini diakibatkan tindakan pengendara, yang konon usia remaja, belum sadar akan safety riding.Tapi, hasil penelitian (dilakukan di Inggris), menjawab lain. Penelitian yang dilakukan Highway Loss Data Institute, lembaga penelitian Insurance Institute for Highway Safety (IIHS) asal Amerika Serikat menyebutkan, safety riding tidak mampu menekan angka kecelakaan sepeda motor.

Faktor penggunaan helm yang tepat dan sistem keamanan pada sepeda motor seperti penggunaan rem anti lock brake system (ABS) malah dianggap menjadi faktor penekan angka kecelakaan roda dua di jalan raya (April 2010).

JADI, SEBENARNYA, APA DAN SIAPA YANG SALAH? MINIMNYA PENDIDIKAN PERILAKU bisa jadi satu di antara faktor pemicunya.
DISIPLIN sejak dini mungkin jarang kita terapkan pada anak-anak atau adik-adik kita. Bukan hanya disiplin mengerjakan pekerejaan rumah, disiplin di sekolah atau berdisiplin dan taat norma sosial, tapi masih ada disiplin dalam norma hukum. Atau, mungkin, secara langsung dan tidak langsung, kita menjadi pelanggar hukum di depan mata anak-anak atau adik-adik kita. Kita mungkin tidak menyadarinya atau malah pura-pura tidak menyadarinya.
Kita mengajari mereka, ” lampu lalu lintas, warnanya ada tiga, merah untuk berhenti, kuning untuk hati-hati, kalau sudah hijau baru boleh jalan”.
Tapi, Ketika kita membonceng mereka naik sepeda motor atau saat di mobil, kita justru tidak taat pada norma hukum yang telah kita ajarkan. Jika sedang di lampu merah, kita meng-klakson sekuat-kuatnya agar kendaraan yang di depan cepat-cepat jalan. Pada saat lampu kuning, kita bukannya berhati-hati malah menancap gas sekencang-kencangnya agar tidak terjebak lampu merah, dan ketika lampu hijau kita seolah-olah tak peduli dengan keberadaan kendaraan dan orang lain di sekitar.
Bahkan, yang menurut saya, lebih ironis, ketika anak atau adik kita belum cukup umur, kita membiarkan mereka, lagi-lagi secara sadar dan tidak sadar, membiarkan mereka mengendarai sepeda motor atau mobil. Belum lagi mereka “memodifikasi” kendaraan menjadi semakin berbahaya, tak punya spion, rangka sepeda motor dilepas, bumper mobil dibuat lebih rendah, dan kecepatan ditambah.
Ini masih cerita pendidikan di rumah, bagaimana dengan pendidkan taat hukum berlalu lintas yang diajarkan di sekolah?

Beberapa waktu lalu Disdiksu dengan Poldasu Sumut telah menjalin kerja sama tentang pentingnya lalu lintas bagi para pelajar sebagai upaya menanamkan kedisiplinan berlalu lintas sejak dini. Namun realisasinya, agar dijadikan kurikulum bermuatan lokal hal tersebut adalah wewenang kabupaten dan kota.
Menurut saya pribadi, ini usulan yang baik. Sudah saatnya pemerintah dan masyaraka bersinergi menempah generasi yang disiplin dan taat hukum, walaupun mungkin masih dalam tahap langkah awal. Guru, orangtua dan pemerintah sama-sama terlibat langsung dan menjadi contoh penerapannya.
Komitmen dalam membangun masyarakat berbudaya disiplin tinggi dan tertib yang dimulai dengan melakukan hal hal kecil seperti kebiasaan untuk mentaati peraturan. Dan bukan taat karena takut kepada petugas, tetapi karena kesadaran untuk melindungi hak pribadi dan hak orang lain.
Dan,mudah-mudahan program ini berjalan lancar dan tidak disalahgunakan menjadi “proyek terselubung”. Amin..

Tinggalkan komentar